1.14.2009

Perjanjian Arbitrase dan Kompetensi Absolut Arbitrase

Perjanjian Arbitrase dan Kompetensi Absolut Arbitrase

Written by disriani.latifah on October 31, 2008 – 2:34 pm -

PERJANJIAN ARBITRASE dan KOMPETENSI ABSOLUT ARBITRASE

A. PERJANJIAN ARBITRASE

1. Pengertian Perjanjian Arbitrase

Perjanjian arbitrase atau dapat juga disebut sebagai klausula arbitrase pada dasarnya adalah suatu klausula yang terdapat dalam suatu perjanjian, isinya memperjanjikan bahwa apabila terjadi sengketa para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase. Berikut beberapa definisi mengenai apa yang dimaksud dengan perjanjian arbitrase:Berdasarkan pasal 1 angka 3 UU Arbitrase[43]:“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum di dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”Menurut Setiawan[44]:“Klausula arbitrase atau arbitration clause adalah alas hak, dasar hukum di atas mana para arbiter duduk dan punya kewenangan”Menurut Yahya harahap :“Perjanjian arbitrase merupakan ikatan dan kesepakatan di antara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaiakan perselisihan yang timbul dari perjanjian oleh badan arbitrase. Para pihak sepakat untuk tidak mengajukan persengketaan yang terjadi ke badan peradilan”Menurut UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law)[45]:“Arbitration agreement is an agreement by the parties to submit to arbitration all or certain diputes which have arisen or which may arise between them in respect or a defined legal relationship, wether contractual or not. An arbitration agreement may be in a form of arbitrarion clause in a contract or in the form in a separate agreement”Berikut ini beberapa contoh klausula arbitrase[46]:A. Korea“all disputes, controversies, or differences which may arise between the parties, out of or in relation to or in connection with this contract, or for the breach thereof, shall be finally settled by arbitration in Seoul, Korea in accordance with the Commercial Arbitration Rules of the Korean Commercial Arbitration Association and under the Laws of Korea. The Award rendered by the arbitrator(s) shall be final and binding upon both parties concerned”B. Singapore“any disputes arising out of or in connention with this contract, including any question regarding its existance, validity or termination, shall be referred to and finally resolved by arbitration in Singapore in accordance with the Arbitration Rules of Singapore International Arbitration Centre (SIAC Rules) for the time being in force wich rules are deemed to be incorporated by reference into this clause”B. Netherlands“all disputes arising in connection with the present contract or further contracts resulting thereof, shall be finally settled by arbitration in accordance with the Rules of the Netherlands Arbitration Institut”C. ICC“all disputes arising in connection with the present contract or further contracts resulting thereof, shall be finally settled under the Rules of Conciliation and Arbitration of the International Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordance with the said Rules” D. UNCITRAL“any disputes, controversy or claim arising out of or relation to this contract, or the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as at present in force. The appointing authority shall be the ICC acting in accordance with the rules addopted by the ICC for this purpose”E. BANI“semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir” Suatu perjanjian arbitrase sebagaimana setiap perjanjian pada umumnya menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara para pihak, agar suatu perjanjian menimbulkan perikatan sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya haruslah memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata:“untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan3. suatu hal tertentu4. suatu sebab yang halal”Syarat sah perjanjian harus selalu diterapakan dalam membuat suatu perjanjian karena tanpa memenuhi syarat sah tersebut maka suatu perjanjian dapat dibatalkan (apabila tidak memenuhi syarat subyektif, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan) atau dapat batal demi hukum (apabila tidak memenuhi syarat obyektif, yaitu: suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal).Mengenai syarat subyektif sepakat dan kecakapan tidak diatur secara khusus dalam UU Arbitrase, dalam pasal 1 angka 2 UU Arbitrase menyebutkan[47]:“Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik”Sedangkan mengenai syarat objektif, yaitu mengenai suatu hal tertentu dalam hal ini adalah sengketa/ objek sengketa apakah yang dapat diselesaikan melalui arbitrase diatur dalam pasal 5 UU Arbitrase[48]:“(1) sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa.(2) sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian”Sedangkan yang dimaksud dengan sengketa di bidang perdagangan dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal 66 huruf b UU Arbitrase[49]:“yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara bidang:- perniagaan- perbankan- keuangan- penanaman modal- industri- hak kekayaan intelektual”Jadi berdasarkan atas pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ternyata tidak semua sengketa yang terjadi dalam masyarakat dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa yang terjadi dalam bidang perdagangan dan sengketa yang menurut hukum dan peraturan perundang-undanngan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat didamaikan, yang dalam hal ini berarti adalah sengketa yang di dalamnya terdapat unsur pidana. 2. Bentuk Perjanjian ArbitrasePada dasarnya ada dua bentuk perjanjian arbitrase yang dibedakan dari waktu dibuatnya perjanjian tersebut, yaitu pertama adalah perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa dan kedua perjanjian yang dibuat setelah terjadinya sengketa. Bentuk perjanjian arbitrase yang pertama disebut dengan Pactum de Compromittendo dan yang kedua disebut dengan Akta Kompromis:a. Pactum de CompromittendoMerupakan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak sebelum terjadinya sengketa. diatur dalam pasal 1 angka 3 dan pasal 7 UU Arbitrase.Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase[50]:“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum di dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”Pasal 7 UU Arbitrase[51]:“Para pihak dapat menyetujui sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka diselesaikan melalui arbitrase”Mengenai Pactum de Compromittendo ini sebelumnya juga diatur di dalam pasal 615 (3) Rv, dimana pihak-pihak dapat mengikatkan diri satu sama lain untuk menyerahkan persengketaan yang munkin timbul di kemudian hari kepada seorang atau beberapa orang arbiter[52].Berdasarkan pasal-pasal pada UU Arbitrase tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa diperbolehkan untuk membuat suatu klausula dalam perjanjian untuk memperjanjikan bahwa apabila di kemudian terjadi sengketa, maka para pihak akan menyerahkan penyelesaiannya kepada arbitrase dan bukan pengadilan. Sedangkan mengenai cara pembentukan pactum de compromittendo secara umum dapat dibedakan menjadi:1. Perjanjian arbitrase dibuat sebagai salah satu klausula dalam suatu perjanjian pokok. Cara ini umum terjadi mengingat pada saat ini dalam suatu perjanjian para pihak biasanya sudah langsung menentukan pilihan penyelesaian sengketa yang mereka pilih apabila terjadi sengketa dikemudian hari, dimana dalam hal pilihan penyelesaian sengketa yang dipilih adalah arbitrase.2. Perjanjian arbitrase dibuat dalam suatu perjanjian tersendiri yang dibuat sebelum terjadinya sengketa dan bersamaan dengan pembuatan perjanjian pokoknya serta tidak menjadi satu/ digabungkan dalam perjanjian pokoknya sehingga ada dua akta yaitu akta yang berisi perjanjian pokok dan akta yang berisi perjanjian arbitrase.Namun dalam UU Arbitrase sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 3 tidak diatur mengenai bentuk yang kedua:“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum di dalam suatu perjanjian tertulis…”Hal tersebut dikarenakan perjanjian arbitrase merupakan perjanjian assesoir yang berarti perjanjian arbitrase adalah perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya, seperti dikatakan Yahya Harahap bahwa pada umumnya perjanjian arbitrase merupakan perjanjian pelengkap atau perjanjian tambahan yang sering dilekatkan dalam persetujuan bisnis atau persetujuan komersial[53]. Sebagai perjanjian assesoir maka perjanjian arbitrase tidak boleh melampaui perjanjian pokoknya serta sah atau tidaknya suatu perjanjian arbitrase ditentukan oleh sah/ tidaknya perjanjian pokoknya. b. Akta kompromisDisebut juga dengan compromise and settlement, akta kompromis merupakan perjanjian arbitrase yang berbentuk akta, dan dibuat setelah terjadi sengketa, diatur dalam pasal 1 angka 3 dan pasal 9 UU Arbitrase.Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase[54]:“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum di dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”Pasal 9 UU Arbitrase[55]:(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani para pihak.(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam akta notaris.(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat:a. masalah yang dipersengketakan;b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak ;c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;d. tempat arbiter atau majelis arbitrase mengambil keputusan;e. nama lengkap sekretaris;f. jangka waktu penyelesaian sengketa;g. pernyataan kesediaan arbiter;h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.Sedangkan dalam Rv peraturan mengenai akta kompromis diatur dalam pasal 618 bahwa pada dasarnya akta kompromis memuat persetujuan para pihak untuk menyerahkan sengketa yang telah timbul pada arbitrase dan bentuknya harus tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak jika para pihak tidak mampu menandatangani maka perjanjian harus dibuat dimuka seorang notaris[56].Maka jelaslah bahwa akta kompromis merupakan suatu perjanjian arbitrase yang dibuat setelah terjadinya sengketa atas perjanjian pokok yang telah dibuat sebelumnya dengan memenuhi persyaratan seperti diatur dalam pasal 9 ayat (3) UU Arbitrase yang apabila tidak dipenuhi maka berdasarkan pasal 9 ayat 4 UU Arbitrase maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum, yang harus diingat adalah akta kompromis seperti yang disyaratkan dalam pasal 9 UU Arbitrase harus dibuat secara tertulis, sehingga berbentuk akta yang merupakan bukti bahwa suatu peristiwa hukum telah dilakukan[57] lebih baik lagi apabila akta kompromis tersebut dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 165 HIR:“surat yang diperbuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahliwarisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok dalam akta itu”Jadi akta otentik merupakan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang berarti isi akta tersebut oleh hakim harus dianggap benar kecuali apabila diajukan bukti lawan yang kuat[58] (kecuali dapat dibuktikan sebaliknya). 3. Unsur-Unsur dalam Perjanjian Arbitrase Perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis dan tidak cukup hanya berdasarkan perjanjian secara lisan saja, sebagaimana diatur dalam pasal 4 UU Arbitrase[59]:(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara meraka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak(3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.Sedangkan menurut Stephen R Bond ada sembilan unsur yang harus disepakati oleh para pihak dalam klausula arbitrase[60]:1. Para pihak harus jelas menetapkan apakah penyelesaian sengketa yang mungkin timbul diserahkan kepada majelis arbitrase yang akan dibentuk setelah sengketa timbul (ad hoc arbitration) atau menyerahkannya kepada suatu Badan Arbitrase yang telah ada (institusional arbitration)2. Standard klausula arbitrase3. Tempat diadakannya arbitrase4. Pilihan hukum5. Komposisi dari arbiter6. Bahasa dalam proses arbitrase7. Putusan akhir dan mengikat8. Pelaksanaan putusan arbitrase9. Biaya arbitraseUnsur-unsur tersebut pada dasarnya bertujuan agar tidak terjadi permasalahan dalam pelaksanaan klausula arbitrase tersebut nantinya. Karenanya klausula arbitrase harus disusun dengan hati-hati dan jelas dalam praktek banyak klausula arbitrase tidak jelas atau kadang-kadang tampak sebagai ‘nonsense clauses’[61] yang akan berbahaya apabila para pihak tidak memiliki itikad baik.Sebagai contoh dikemukakan oleh Setiawan[62] bahwa pernah ada klausula arbitrase yang sering disebut dengan klausula to be settled in, yang pernah dibuat di negeri Belanda yang hanya berbunyi:“… arbitrarion to be settled in Amsterdam”dalam klausula tersebut hanya disebutkan akan menggunakan arbitrase yang terdapat di Amsterdam, sedangkan menggunakan hukum apa, tata cara pemilihan apa, tidak disebutkan. Dan yang lebih berbahaya adalah klausula arbitrase yang tidak jelas atau yang hanya menentukan sedikit saja dari sengketa. Selain itu ada juga klausula arbitrase yang membingungkan seperti yang dikemukakan oleh Erman Rajagukguk[63] bahwa klausula arbitrase tidak harus panjang atau rumit, tetapi apabila klausula tersebut ingin menjadi efektif ia harus jelas. Kemenduaan (ambiquity) adalah musuh paling buruk yang sudah dapat dibayangkan, yang menyebabkan klausula arbitrase menjadi tidak efektif atau paling sedikit menciptakan komplikasi yang akan menghabiskan waktu dan biaya[64]. Berikut adalah contoh klausula arbitrase yang di dalamnya mengandung ambiguitas[65]:“ Perjanjian Emisi Efek harus diusahakan untuk diselesaikan secara musyawarah dan bilamana tidak tercapai persesuaian paham, maka perselisihan tersebut diajukan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau Peradilan yang berwenang” Maka dapat dilihat bahwa dalam klausula arbitrase tersebut ternyata tidak ada kesepakatan memilih tempat penyelesaian sengketa tetap belum ada kesepakatan apakah akan diajukan ke BANI atau ke peradilan yang berwenang, sehingga hanya akan menimbulkan permasalahan baru apabila ternyata para pihak berbeda pendapat dalam memilih tempat penyelesaian sengketa, satu pihak ingin ke BANI dan pihak lain ingin ke pengadilan. Maka hendaknya dalam membuat klausula arbitrase harus jelas dan berhati-hati. 4. Seperability PrinciplePada dasarnya suatu perjanjian arbitrase dapat berdiri sendiri yaitu dalam bentuk akta kompromis ataupun dalam bentuk klausula yang berada dalam suatu perjanjian sebagai salah satu klausula perjanjian yaitu klausula arbitrase. Namun sebagai suatu perjanjian assessoir, perjanjian arbitrase baik dalam bentuk pactum de compromittendo maupun dalam bentuk akta kompromis tetap harus memenuhi prinsip-prinsp dalam perjanjian asesoir[66]:1. isi perjanjian asesoir tidak boleh melampaui perjanjian pokoknya2. isi perjanjian asesoir tidak boleh bertentangan dengan perjanjian pokoknya3. tidak akan ada perjanjian asesoir tanpa perjanjia pokoknyaNamun perjanjian arbitrase bukanlah sebagai suatu perjanjian asessoir ‘biasa’ karena dalam perjanjian arbitrase tidak batal apabila perjanjian pokoknya batal, sebagaimana diatur dalam pasal 10 huruf h UU Arbitrase[67]:“suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini:a. meninggalnya salah satu pihak;b. bangkrutnya salah satu pihak;c. novasi;d. insolvensi salah satu pihak;e. pewarisan;f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokoknya;g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atauh. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok”Hal inilah yang disebut dengan seperability principle atau prinsip keterpisahan yaitu bahwa suatu perjanjian arbitrase harus dianggap terpisah dari perjanjian pokoknya sehingga apabila perjanjian pokok berakhir atau batal, perjanjian arbitrasenya tetap berlaku. B. KLAUSULA ARBITRASE DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KOMPETENSI ABSOLUT ARBITRASE Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase menyatakan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan ketentuan pada pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan suatu sengketa didasarkan pada perjanjian arbitrase .Sedangkan ketentuan mengenai kompetensi absolut arbitrase diatur dalam:Pasal 2 UU Arbitrase[68]:“Undang-Undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa”Pasal 3 UU Arbitrase[69]:“Pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjia arbitrase”Serta dalam pasal 11 ayat UU Arbitrase[70]:“(1) Adanya perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri(2) Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan undang-undang ini”Berdasarkan atas tiga pasal itu dapat disimpulkan bahwa kompetensi absolut arbitrase ada/ lahir ditentukan dengan adanya perjanjian arbitrase.Setiawan juga menyatakan bahwa arbitration clause adalah alas hak, dasar hukum di atas mana para arbiter duduk dan punya kewenangan, maka dengan adanya arbitration clause para arbiter memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa yang sebenarnya menjadi kewenangan peradilan, tapi karena adanya arbitration clause lalu menjadi kewenangan arbitrase[71].Karena klausula arbitrase merupakan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian maka sesuai dengan asas pacta sunt servanda atau agreement must be kept maka suatu perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sepanjang perjanjian yang bersangkutan tidak melanggar syarat sah perjanjian seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Sebagai konsekuensinya (pacta sunt servanda) maka hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut[72].Hal tersebut berarti bahwa perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan secara sepihak sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yang merupakan konsekuensi logis dari adanya asas pacta sunt servanda:“suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”Ketentuan itu juga ditegaskan dengan Pasal 620 ayat (2) Rv[73] yang menyatakan bahwa kekuasaan para arbiter tidak boleh ditarik kembali kecuali atas kesepakatan bulat para pihak.Ketentuan mengenai perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan secara sepihak juga diatur dalam yurisprudensi, salah satunya dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Mei No 317 K/pdt/1984[74] yang menyatakan bahwa melepaskan klausula arbitrase harus dilakukan secara tegas dengan suatu persetujuan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sedangkan dalam hal adanya eksepsi Mahkamah Agung berpendirian bahwa ada atau tidaknya eksepsi, klausula arbitrase dengan sendirinya berbobot kompetensi absolut, sehingga yuridiksi mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian dengan sendirinya menurut hukum jatuh menjadi kewenangan absolut Mahkamah Arbitrasse (tribunal arbitration). Oleh karena itu setiap pengadilan menghadapi kasus gugatan yang seperti itu harus tunduk kepada ketentuan Pasal 134 HIR dan menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili[75].Adapun isi pasal 134 HIR adalah:“Jika perselisihan itu adalah suatu perkara yang tiada masuk kuasa pengadilan negeri, maka pada tiap-tiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu, boleh diminta supaya hakim menerangkan dirinya tidak berkuasa dan hakim itupun wajib pula menerangkan karena jabantannya bahwa ia tidak berkuasa untuk perkara itu”Penulis sendiri berpendapat bahwa sesuai dengan asas pacta sunt servanda maka suatu perjanjian pada umumnya maupun perjanjian arbitrase pada khususnya berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan karenanya suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan sepakat kedua belah pihak. Dimana kesepakatan untuk membatalkan perjanjian harus dibuat secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti bahwa peristiwa pembatalan perjanjian tersebut memang benar terjadi. Sedangkan berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak maka para pihak yang membuat perjanjian bebas untuk menentukan apa yang mereka kehendaki sepanjang memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, termasuk kebebasan untuk menentukan tempat pilihan penyelesaian sengketa dengan perjanjian arbitrase.Maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan atas pasal 2, pasal 3 dan pasal 11 UU Arbitrase dengan adanya perjanjian arbitrase, tempat pilihan penyelesaian sengketa yang berwenang atau yang berkompeten untuk menyelesaikan suatu sengketa adalah lembaga arbitrase atau dengan kata lain kompetensi absolut arbitrase ditentukan oleh klausula atau perjanjian arbitrase.


[43] Indonesia, Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No.30 Tahun 1999 LN No 138, TLN No 3872 pasal. 1 angka 3.

[44] Setiawan, “Beberapa Catatan Hukum tentang Klausula Arbitrase”, Arbitrase dan Mediasi, op. cit., hal. 77.

[45] UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law), Model law On International Comercial Arbitration, article 7.

[46] Priyatna Abdurrasyid, “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternatif Disputes Resolution – ADR/ Arbitration,),Arbitrase dan Mediasi, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 08&09 Oktober 2002 , hal.70-72.

[47]Indonesia, pasal 1 angka 2.

[48]Ibid, pasal 5.

[49]Ibid, penjelasan pasal 66 huruf b.

[50] Ibid, pasal 1 angka 3.

[51] Ibid, pasal 7.

[52]Dikutip dari SUT Girsang,, Arbitrase, Jakarta: Litbang Diklat Mahkamah Agung RI, 1992, hal.3.

[53] Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, PERMA No 1 Tahun 1990, edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2001, hal. 64.

[54] Ibid, pasal 1 angka 3.

[55]Ibid, pasal 9.

[56]Dikutip dari Girsang, op. cit., hal.4.

[57] Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: CV Mandar Maju, 1997,hal.65.

[58]Ibid, hal. 66.

[59]Indonesia, op. cit., pasal 4.

[60] Dikutip dari Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama, 2000, hal.92

[61]Erman Rajagukguk, op. cit., hal.89.

[62]Setiawan, Beberapa Catatan Hukum Tentang Klausula Arbitrase”, op. cit., hal.78.

[63]Erman Rajagukguk, op. cit., hal. 91.

[64]Ibid, dikutip dari Stephen R. Bond. “How to Draft an Arbitration Clause”, Journal of International Arbitration 66, 1989, hal.67.

[65]dikutip dari Ibid.

[66]Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000, hal.118.

[67]Indonesia (a), op. cit., pasal 10.

[68]Ibid, pasal 2.

[69]Ibid, pasal 3.

[70]Ibid, pasal 11.

[71]Setiawan, op. cit., hal.77.

[72]Ridwan Khairandy, op. cit., hal.29

[73]dikutip dari Yahya Harahap (a), op. cit., hal. 75.

[74] Ibid., hal.76.

[75] Ibid., hal. 87.

Tidak ada komentar: